Pemberitaan tentang penyebaran Tomcat yang sudah hampir mencapai seluruh kota di Pulau Jawa, membuat masyarakat bertanya-tanya. Mengapa populasi serangga sejenis kumbang tersebut bisa meningkat tajam.
Menurut Prof Dr Liana Bratasida, seorang staf ahli bidang lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, peningkatan populasi Tomcat yang melebihi normal seperti saat ini, salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim yang ekstrim.
Perubahan iklim yang cukup ekstrim itu membuat jenis kumbang Paederus tersebut mengalami kesuburan populasi. Hampir sama kasusnya dengan yang terjadi pada populasi ulat bulu yang melonjak drastis sebelumnya.
Di setiap daerah sebenarnya keberadaan Tomcat sudah ada. Mereka hidup di persawahan dan area perkebunan, hingga petani sudah akrab dengan keberadaan serangga ini.
Bahkan, Tomcat terkenal sebagai predator dari hama wereng. Hama yang terkenal mampu membuat petani rugi besar.
Kini, saat kasus kumbang Tomcat mencuat karena mereka memasuki wilayah perumahan dan apartemen, serta membuat banyak orang terluka akibat racunnya, maka sebenarnya hal ini akibat habitat aslinya telah berkurang atau bahkan rusak.
Dan karena perubahan cuaca ekstrem ini berlangsung merata di seluruh Indonesia, maka tak heran jika terjadinya peningkatan populasi Tomcat ini tak hanya ada di satu daerah saja, melainkan tersebar hampir di seluruh wilayah pulau Jawa.
Nampaknya, dengan adanya perubahan suhu ekstrem dan cuaca yang makin tak menentu karena banyaknya kerusakan alam, bakal ada lagi kasus melonjaknya populasi serangga atau binatang lainnya kelak. Entah apa lagi.
Mobil Bekas
Departemen Parasitologi Verteriner Ex Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya akan meneliti kandungan toksin pada tomcat. Peneliti sekaligus pengajar di fakultas tersebut, Drh. Mochammad Yunus M. Kes. PhD, mengatakan toksin atau racun mematikan pada tomcat akan diujikan pada tikus dan kelinci.
Pengujian dilakukan, kata Yunus, salah satunya bertujuan untuk menjawab pertanyaan masyarakat terkait dengan bahaya-tidaknya kandungan toksin yang dikeluarkan tomcat.
Sebab sempat ada isu bahwa toksin tomcat lebih berbahaya dari bisa ular. "Tikus atau kelinci dikerok bulunya, lalu kita lihat sejauh mana reaksinya pada racun tersebut," kata Yunus, Jumat, 23 Maret 2012.
Yunus mengatakan dirinya telah meneliti tomcat sejak sebulan lalu atau saat beberapa warga di sekitar Pantai Kenjeran melaporkan digigit hewan sebesar bulir padi itu.
Dari referensi yang ia temukan, termasuk karakteristiknya, Yunus cenderung mengklasifikasikan tomcat ke dalam jenis kumbang cleopatra. Kumbang ini, kata dia, termasuk famili staphylinidy, genus paederus, dan spesies paederus riparius.
Kumbang cleopatra menghasilkan toksin paederin yang dapat menyebabkan paederin dermatitis bagi kulit yang terkena. Namun, ujar Yunus, tomcat hanya mengeluarkan toksinnya saat bertahan. "Bagi kulit yang terkena toksin ini gejala klinisnya seperti herpes," kata Yunus.
Bagi tubuh yang lemah, ujar Yunus, efek toksin tomcat tak hanya meninggalkan luka bernanah, tapi juga meriang. Tapi bila tubuh kuat, efek toksin tomcat tidak terlalu berbahaya. "Asal jangan digaruk, agar tidak makin menyebar," kata dia.
sumber : bekompas.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar